Sabtu, 09 November 2013

MASA TRANSISI (1966-1967)



Selama kurun 1966-1967 terdapat dualisme kepemimpinan nasional , yaitu satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif dan pihak lain Jendral  Soeharto yang semakin populer  karena berhasil menumpas G-30-S/PKI. Jendral Soeharto juga berhasil melaksanakan stabilitas ekonomi dan politik berdasarkan Surat Perintah 11 Maret  1966.
 Pada tanggal 6-9 Mei 1966 diadakan simposium kebangkitan semangat ‘66b di Universitas Indonesia untuk memberikan saran-saran bagi perbaikan politik dalam negri pada awal Orde Baru. Simposium itu mengambil tema “ INDONESIA NEGARA HUKUM “. Hal itu disebabkan pada masa Orde Lama telah terjadi  banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap asas-asas yang berlaku sebagai negara hukum. Untuk itu disarankan kepada pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar  1945 secara murni dan meninjau penpres-penpres yang telah dikeluarkan. Diusulkan pula agar ada jaminan terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia.
 Untuk menciptakan iklim politik yang lebih stabil, Surat Perintah 11 Maret dikukuhkan melalui ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memberikan wewenang kepada Soeharto selaku Mentri/Panglima AD untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna menjamin ketenangan dan keamanan serta kestabilan jalannya revolusi. Selanjutnya, MPRS mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya melalui ketetapan No. XXV/MPRS/1966. Melalui ketetapan MPRS itu, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Pada waktu bersamaan dikeluarkan ketetapan  MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera. Tugas kabinet itu diserahkan kepada pengemban Supersemar, Soeharto. Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno sesuai dengan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar